Sabtu, 03 Januari 2015

Kandungan SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 201

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 201
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
[Dan di antara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka”.]
[And there are men who say: “Our Lord! Give us good in this world and good in the Hereafter, and defend us from the torment of the Fire!”]

1). Manusia golongan pertama telah kita bahas di ayat sebelumnya. Yaitu jenis manusia yang mata akhiratnya buta. Mereka memang beragama, bahkan berhaji, tetapi yang mereka butuhkan hanyalah simbol-simbol agama guna membungkus kepentingan-kepentingan duniawinya. Sekarang kita masuk ke golongan kedua. Yaitu jenis manusia yang kedua matanya melek. Melek dunia, melek akhirat. Bahkan tak hanya melek di kedua sisi kehidupan itu, mereka bahkan melihat adanya similaritas dan singgularitas dari keduanya: فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً (fīd-dun’ya hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatandi dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan). Kesamaan dan kesatuannya terletak pada kata حَسَنَةً (hasanatan, kebaikan). Artinya, pemilik golongan ini faham bahwa dunia dan akhirat bukanlah dua wilayah yang posisinya paralel, biner, dan terpisah secara dikotomi. Melainkan bersifat kontinyu dan linear; dunia adalah awalnya dan akhirat adalah kelanjutannya. Tidak ada dunia kalau tidak ada akhirat. Dunia adalah lahan sebab, tempat bercocok tanam; akhirat adalah lahan akibatnya, tempat menuai dan menikmati hasil. Kalau di akhirat ingin memanen buah-buah حَسَنَةً (hasanatan,kebaikan) maka di dunia pun harus menanam pohon-pohon حَسَنَةً (hasanatan, kebaikan). Tidak akan ada حَسَنَةً (hasanatan, kebaikan) di akhirat jikalau tidak mengusahakan حَسَنَةً (hasanatan, kebaikan) di dunia. Dalam istilah Alquran, dunia ini adalah masa ujian, sedangkan akhirat adalah masa mengetahui dan menikmati hasil ujian tersebut. “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan dibiarkan (begitu saja masuk surga), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kalian dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman? Dan (ketahuilah bahwa) Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (9:16)

2). Pertanyaannya, kalau mengusahakan حَسَنَةً (hasanatan, kebaikan) di dunia akan mendatangkan حَسَنَةً(hasanatan, kebaikan) di akhirat, lalu kenapa dalam ayat ini disebutkan lagi klausa وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً (wa fīl-ākhirati hasanatan, dan di akhirat kebaikan)? Kenapa tidak cukup فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً (fīd-dun’ya hasanatandi dunia kebaikan) saja? Toh akhirat hanyalah konsekuensi logis saja? Jawabannya,satu, kalau ditiadakan penggalan وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً (wa fīl-ākhirati hasanatan, dan di akhirat kebaikan) berarti kembali sama dengan golongan pertama, yang sudah dibahas sifat negatifnya itu. Dua, karena walaupun kedua alam itu berkelanjutan bagai garis lurus, tetapi apa yang ditanam di dunia tidaklah secara otomatis akan tertuai di akhirat. Eksistensi alam akhirat—bagi manusia—memang akibat logis dari eksistensi alam dunia, tetapi “nilai”-nya tidak. Hubungan keniscayaan di antara keduanya masih membutuhkan faktor lain yang namanya “niat”. Sementara “niat” tidak bisa muncul dengan sendirinya, karena hakikat “niat” adalah “ungkapan hati” yang menyangkut tujuan yang jatuhnya di masa depan. Bicara soal “masa depan” berarti bicara soal “iman”. Bicara soal “iman” berarti bicara soal “ilmu”. Di sinilah pentingnya informasi tentang alam akhirat. Masalahnya, karena tidak empirik—kalau empirik berarti bukan kontinyuasi dari alam dunia sebab yang empirik selalu harus semasa dengan pengamatnya—lantas siapa yang bisa memberikan informasi paling lengkap dan paling rinci tentang akhirat—yang keberadaannya melampaui alam dunia yang tiga dimensi ini? Kemungkinannya hanya satu: manusia yang sengaja dikirim oleh Sang Pemiliki seluruh alam, termasuk alam akhirat. Di sinilah kenabian menemukan keniscayaannya. “Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (33:45-47)

3). Kata حَسَنَة (hasanah, kebaikan) ini sedikit banyak sudah kita bahas di ayat 195 poin 3 dan 4. Sekarang kita lebih memperluas pengertiannya. Kata حَسَنَة (hasanah) ini adalah bentuk tunggal, muncul 28 kali dalam Alquran. Sedangkan bentuk jamaknya حَسَنَات (hasanāt) muncul 3 kali (7:168, 11:114, dan 25:70). Dari sejumlah ayat itu, dapat disimpulkan bahwa dalam kata حَسَنَة (hasanah) terkandung beberapa poin penting. Pertama, setiap perbuatan baik atau perbuatan buruk berlaku padanya hukum imbal balik bagi jiwa pelakunya. Sehingga semakin banyak perbuatan حَسَنَة (hasanah,kebaikan) yang seseorang lakukan, akan semakin mempersubur jiwa orang tersebut, serta memperluas akses untuk melakukan perbuatan baik berikutnya. Begitu juga sebaliknya. “Sesiapa yang memberikan syafaat (nilai) yang حَسَنَة (hasanah, kebaikan), niscaya ia akan memperoleh bahagian (manfaat dan pahala) daripadanya. Dan barangsiapa yang memberi syafaat yang سَيِّئَة (sayyiah,keburukan), niscaya ia akan memikul bahagian (kerusakan dan dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (4:85) Kedua, setiap perbuatan حَسَنَة (hasanah) pasti akan menimbulkanmultiplier effect (dampak berlipat)—6:160, 28:84, 39:10—karena kebaikan sendiri adalah dasar dari kehidupan. Sehingga setiap tetes kebaikan otomatis akan menggetarkan, kemudian getarannya tak cuma merambat dan mengisi ruang-ruang kehidupan yang ada di sekitarnya, tapi bahkan sampai ke Arasy Allah swt. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya (hamba-Nya) walaupun sebesar zarrah, dan jika ada حَسَنَة (hasanahsebesar zarrah (yang manusia perbuat), niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (4:40) Ketiga, setiap perbuatan حَسَنَة(hasanah) akan menghapus perbuatan سَيِّئَة (sayyiah). Alasannya, manusia tidak pernah berada dalam keadaan yang tidak punya nilai: حَسَنَة (hasanah) atau سَيِّئَة (sayyiahkeburukan). Dan karena waktu setiap hari bagi semua manusia adalah tetap, maka jika seseorang menggunakan satu kuota waktu tertentu untuk berbuat حَسَنَة (hasanah), praktis kuota waktu tersebut tidak bisa lagi digunakan untuk berbuat سَيِّئَة (sayyiahkeburukan). Itu dari sisi utilitas waktu. Dari sisi psikologis, setiap perbuatan baik yang dilakukan akan meninggalkan jejak di dalam jiwa, dan jejak itu tumbuh bagai pohon sehingga tidak gampang hilang, maka lama-kelamaan mempersempit ruang gerak teraktualkannya potensi سَيِّئَة(sayyiahkeburukan). Dari sisi teologis, Tuhan sendiri adalah Yang Mahabaik, Dia adalah sumber segala kebaikan; tidak ada satu kebaikan pun yang tidak berasal dari diri-Nya. Sehingga setiap pelaku kebaikan pada hakikatnya adalah tangan Tuhan dalam mewujudkan kebaikan tersebut. “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (subuh dan dluhur-ashar) dan pada bahagian permulaan malam (maghrib-isya). Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (11:114) Keempat, yang disebut bertobat ialah menutup jejak-jejak سَيِّئَة (sayyiahkeburukan) dan menggantinya sedikit demi sedikit dengan jejak-jejak حَسَنَة (hasanah). Tentu ini tidak mudah. Butuh waktu dan konsistensi. Peristiwa ini disebut hijrah. “Dan orang-orang yang berhijrah pada Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan menempatkannya pada حَسَنَة (hasanahdi dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (Yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.” (16:41-42. Lihat juga 25:70) Kelima, pengertian yang terkandung dalam kata حَسَنَة (hasanah) mencakup seluruh bentuk kebaikan, termasuk “keadaan”. Mulai dari bentuk pengajaran dan dakwah (16:125) sampai kepada kondisi ekonomi. “Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila datang kepada mereka حَسَنَة (hasanah—dalam pengertian—kemakmuran), mereka berkata: ‘Ini adalah karena (usaha) kami’. Dan jika mereka ditimpa سَيِّئَة (sayyiahkeburukan), mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (7:130-131) Keenam, teladan nyata dari seorang yang seluruh hidupnya telah tersifati oleh حَسَنَة (hasanah) ialah Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw. “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan, yang patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). (Lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Dia telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya حَسَنَة (hasanah)di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim yang hanif.’ Dan dia bukan dari orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (6:120-123)

4). Kendati sudah ada ungkapan yang tegas فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً (fīd-dun’ya hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatandi dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan), tetapi seseorang yang memohon dengan doa ini tidak lantas terbebas dari azab api neraka. Untuk itu masih perlu ditambah dengan permohonan baru yang lebih tegas lagi: وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (wa qinā ‘adzāban-nārdan peliharalah kami dari azab neraka). Kenapa? Karena urusan neraka menyangkut dua hal. Satu, nilai dari amal. Banyakan mana حَسَنَة (hasanah) atau سَيِّئَة (sayyiahkeburukan). Permohonan kita agar di dunia diberi حَسَنَة(hasanah) dan di akhirat mendapat حَسَنَة (hasanah) tidak secara otomatis bermakna beratnya bobotحَسَنَة (hasanah) ketimbang سَيِّئَة (sayyiahkeburukan) yang ada dalam rekening tabungan kita. “Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka siapa yang berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (7:8. Lihat juga 23:102-103, dan 101:6-11) Dua, syafaat. Secara bahasa artinya penggenap. Yaitu menggenapi bobot حَسَنَة (hasanah) yang tadinya tidak mencukupi persyaratan masuk surga, atau mengurangi bobot سَيِّئَة (sayyiahkeburukan) yang pada awalnya memenuhi syarat untuk masuk neraka. Karena menyangkut masalah yang sangat krusial dan menentukan nasib akhir seseorang, syafaat tentu tidak bisa diberikan oleh dan kepada sembarang orang. Syafaat ini hanya bisa diberikan oleh mereka yang mendapat mandat dari Allah, sebagai konsekuensi logis dari kenabian dan kerasulan. “Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat yang diberikan oleh) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (20:109. Lihat juga 43:86) Juga, syafaat hanya akan diberikan kepada mereka yang sewaktu di dunia telah membuat janji atau baiat dengan pemberi syafaat tersebut. “Dan Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga. Mereka tidak berhak mendapat syafa’at kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah.” (19:86-87. Lihat juga 34:23)

5). Hadis Nabi saw.:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَالنَّارِ
[Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abdul Warits dari Abdul Aziz dari Anas dia berkata; Doa yang paling banyak dipanjatkan Nabi saw adalah: “Allaɦumma rabbanā ātinā fīd-dun’ya hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatan wa qinā ‘adzāban-nār.” (Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka)] (Shahih Bukhari no. 5910)

حَدَّثَنَا أَبُو الْخَطَّابِ زِيَادُ بْنُ يَحْيَى الْحَسَّانِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ رَجُلًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَدْخَفَتَ فَصَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ كُنْتَ تَدْعُو بِشَيْءٍ أَوْ تَسْأَلُهُ إِيَّاهُ قَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِيفِي الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ لَا تُطِيقُهُ أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ أَفَلَا قُلْتَ اللَّهُمَّ { آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ } قَالَفَدَعَا اللَّهَ لَهُ فَشَفَاهُ
[Telah menceritakan kepada kami Abul Khaththab Ziyad bin Yahya al-Hassani telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Adi dari Humaid dari Tsabit dari Anas bahwasanya Rasulullah saw pernah menjenguk seorang laki-laki muslim yang sedang sakit parah sampai kurus dan lemah seperti seekor burung kecil. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya: “Apakah kamu pernah berdoa ataupun memohon sesuatu kepada Allah?” Sahabat tersebut menjawab: “Ya, saya pernah berdoa: ‘Ya Allah ya Tuhanku, apa yang akan Engkau siksakan kepadaku di akhirat kelak, maka segerakanlah siksa tersebut di dunia ini!’ Mendengar pengakuannya itu, Rasulullah pun berkata: “Subhanallah, mengapa kamu berdoa seperti itu. Tentu kamu tidak akan tahan. Mengapa kamu tidak berdoa: ‘Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka.” Anas berkata; lalu Rasulullah berdoa kepada Allah untuk sahabat tersebut dan akhirnya Allah pun menyembuhkannya.] (Shahih Muslim no. 4853)


AMALAN PRAKTISNYA
Doa adalah permohonan agar sesuatu yang diminta itu terwujud. Maka kalau Anda berdoa diberikan kebaikan di dunia, berarti Anda memohon kepada Allah agar Dia membantu Anda dalam melakukan kebaikan-kebaikan itu. Ingat, dalam posisi itu, Allah hanya membantu, bukan menginisiasi. Sehingga doa sapu jagat Anda hanya akan terijabah manakala Anda sendiri yang pertama kali memulai perbuatan baik yang Anda maksud dalam doa itu.

demikian, semoga bermanfaat bagi kita semua. wassalallamualaikum wr.wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aspek Keperilakuan pada Etika Akuntan

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Akuntan merupakan profesi yang keberadaanya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Se...